Catur Media - Keberadaan Potensi Bangunan Situs Petilasan di Padukuhan Tunjungan Caturharjo Pandak.
![]() |
Pohon Serut dan Gendhuyu |
Pohon Serut dan Gendhuyu
Pohon serut dan Gendhuyu adalah sebuah tapak tilas yang sangat bersedjarah bagi seluruh warga Pedukuhan Tundjungan karena berhubungan dengan pohon Timo . Letak pohon serut dan gendhuyu berada segaris lurus disebelah selatan pohon Timo yang berdjarak kurang lebih 70 meter di sebelah selatan pohon Timo.
Atas prakarsa para sesepuh di Dusun nDhukuh/Tundjungan yang di ketuai oleh alm Bapak Sukohardjono ( Dukuh Tundjungan waktu itu ) pada tanggal 10 Juni 1986 telah dibangun patjak sutji memlathi dan dipagar bumi.
Konon menurut tjerita yang berhasil dirangkum dan dibukukan oleh Yayasan Anurogo Sri Sadono Karaton Ngayogyokarto Hadiningrat , setelah Panembahan Tundjung, yhwo Raden mas Djoko Semprung , yhwo Syah Tadjudin Akbar berhasil mbudjung (mengejar) dan membudjuk Kyai Selo dan Kyai Nompo , beliau bertiga pada perdjalanan abad 16 meneruskan babad alas untuk membuat sebuah wewengkon wilayah yang pada awalnya dimulai dari wewengkon yang ketjil dan dinamakan nDhukuh Tjilik. Dalam perdjalanannya meneruskan babad alas tersebut diteruskan ke arah utara (sekarang Dusun Tundjungan ).
Sesampailah di tengah tengah utara dan selatan tepatnya di tepi sungai lidheng sebelah barat pasar Gumulan, beliau bertiga ( Panembahan Tndjung, yhwo Raden Djoko Semprung, yhwo Syah Tadjudin Akbar , Kyai Selo dan Kyai Nompo ) membangun sendhang / patjrabakan untuk lelangen atau untuk barsantai (dalam bahasa djawa digunakan untuk ngisis). Letak sendang patjrabakan tersebut tepat di tengah tengah antara pohon Timo dan pohon Serut dan pohon Gendhuyu.
Luas bangunan sendang patjrabakan tersebut konon menurut tjerita kurang lebih 500 meter persegi atau setengah hektar, yang sekarang telah menjadi areal persawahan. Bangunan sendang tersebut konon dinamakan sendang Gumul. Atas inisiatip beliau bertiga ditengah tengah sendang Gumul tersebut dibangun sebuah punthukan dari tanah yang dinamakan gumuk. Dan sebagai penedhuh di tengah tengah sendhang atau patjrabakan Gumul tersebut ditanam 2 (dua) djenis pohon yaitu Gendhuyu dan Serut. Tetapi seiring bertambahnya usia pohon, pohon Gendhuyu tersebut akhirnya mati dan yang masih bertahan hanya pohon Serut yang keberadaannya masih sampai sekarang. Bahkan nama sedhang atau patjrabakan Gumul tersebut diabadikan mendjadi Dusun Gumulan. Maka di djaman belanda sendhang atau patjrbakan (sekarang areal peraswahan dan permukiman) di peta wilayah djaman Belanda masuk wewengkon Pedukuhan Gumulan.
Didalam sendhang atau patjrabakan tersebut juga di beri tanaman bunga bunga air yaitu bunga teratai dan sekar Tandjung. Dari nama sekar Tandjung tersebut kemudian dipakai untuk nama Panembahan Tundjung , yhwo Raden Djoko semprung yhwo Syah Tadjudin Akbar yang selandjutnya diapakai untuk menamai dumadine Dusun Tundjungan. Oleh karena itu dusun nDhukuh Tjilik dan Dusun Tundjungan tidak dapat dipisahkan dan tidak dapat berdiri sendiri sendiri. Sampai beliau bertiga wafat ( Panembahan Tundjung, yhwo Raden Djoko Semprung, yhwo Syah Tadjudin Akbar, Kyai Selo, Kyai Nompo ) dimakamkan dan semare di Dusun Tundjungan yang letak pusaranya berdampingan di sebelah barat dan sebelah timur.,yang di sebelah timur adalah makam Panembahan Tundjung, yhwo Raden Djoko Semprung , yhwo Syah Tadjudin Akbar di sebelah barat makam Kyai Selo dan Kyai Nompo. Awal mula pada djaman Belanda, sendhang Gumul itu masuk peta wilayah Padukuhan Gumulan. Barulah pada tahun 1948 ketika terjadi penggabungan 4 (empat) Kalurahan yaitu Kalurahan Tundjungan, Kalurahan Gluntung, Kalurahan Galgahan dan Kalurahan Tegallayang didjadikan satu mendjadi kalurahan Tajturhardjo, bekas sendhang atau patjrabkan Gumul tersebut setjara administrasi Pemerintahan masuk wilayah Pedukuhan Tundjungan Blok 15.
Bahkan di tahun 1996 untuk membuktikan kebenaran tjerita tersebut ada seorang Mahasiswa dari Universitas Airalangga sempat melakukan penelitian untuk meraih gelar Doktoralnya.
Adapun yang diteliti adalah sebuah batu bata yang berasal dari Keradjaan Bintoro yang lebih dikenal Demak Bintoro , yang ditjotjokan dengan batu bata yang berada di punthukan (gumuk) sendhang Gumul ternyata ada kemiripan ke dua buah batu bata tersebut. Hal itu patut diduga dan diidikasikan bahwa batu bata tersebut dibuat oleh Panembahan Tundjung,yhwo Raden Djoko Semprung , yhwo Syah Tadjudin Akbar.
Itulah sekelumit tjerita yang dirangkum dalam sebuah deskripsi tentang keberadaan pohon Serut yang oleh warga masyarakat Tundjungan masih diyakini kebenaran dari sedjarah tersebut. Dan dari 3 (tiga) Petilasan tersebut ( makam Panembahan Tundjung,yhwo Raden Djoko Semprung, yhwo Syah Tadjudin Akbar, Pohon Timo dan Gumuk Serut tetap terawat sampai sekarang dan dibuat patjak memlathi sebagai icon Pedukuhan Tundjungan. Masalah benar dan tidaknya tjerita tersebut kami serahkan ke masing masing individu dalam memahami dan meyakininya.
![]() |
Makam Panembahan Tundjung |
Makam Panembahan Tundjung
Makam petilasan Panembahan Tundjung atau nama asli Raden Djoko Semprung yang kemudian bergelar Syah Tadjudin Akbar terletak di Dusun Tunjungan Tjaturhardjo Pandak Bantul. Berdasarkan buku silsilah yang telah berhasil dirangkum oleh Yayasan Anurogo Sri Sadono pada tanggal 1 Juli 1986 yang beralamat di nDalem Karaton Ngayogyokarto Hadiningrat yang kala itu difasilitasi oleh KRT Wandiyo BSc sebagai abdi dalem Karaton Ngaoyogyokarto Hadiningrat dan dijadikan sebagai referensi bagi warga masyarakat Dusun nDhukuh/Tunjungan untuk memahami dan mengetahui sejarah dumadine siti perdikan nDhukuh/Tunjungan dan dumadine Nama Tundjungan yang dijadikan nama Padukuhan Tundjungan.
Menurut tjerita sedjarah awal mula dumadine wewengkon siti perdikan nDhukuh/Tundjungan, pada abad 15 – 16 Masehi , Dusun nDhukuh/Tundjungan hanya sebuah wilayah yang berupa alas tanaman pohon Gendhuyu. Datanglah 2 orang yang sedang andon lelono topo talak broto yang bernama Kyai Selo dan Kyai Selo. Beliau berdua hanyalah orang djelata yang mengembara untuk mentjari tempat tinggal.
Sekira kurang berdjalan 3 tahun dalam mebuka sebuah alas untuk dijadikan wilayah dan tempat tinggal , tiba tiba rawuh (datang) seorang yang berwibawa dengan gwayane nampak tedjo manther ibarat tinatah mendat djinoro menter. Seseorang yang datang tersebut tidak lain adalah Panembahan Tundjung dengan nama asli Raden Djoko Semprung yang selandjutnya bergelar Syah Tadjudin Akbar. Panembahan Tundjung inggih Raden Djoko Semprung inggih Syah Tadjudin Akbar diyakini adalah putra Sultan Brawidjaya nomor 53 dari garwo selir nomor 13.
Beliau datang mengindjakan kaki pertama di wewengkon alas atau siti perdikan yang akhirnya bernama Padukuhan Tundjungan sekira abad 15 – 16 Masehi setelah lengsernya Sinuwun Prabu Brawidjaya yang terakhir yang selandjutnya diteruskan atau dilandjutkan dengan jumenengan Sultan Demak Bintoro di Nagari Demak yaitu Raden Patah dengan nama aslinya Raden Djoko Probo, Raden Yusup, Raden Kusen. Raden Patah, yhwo Raden Djoko Probo, yhwo Raden Yusup, Yhwo Raden Kusen adala putro dari Sultan Brawidjaya nomor 13 dari garwo resmi.
Sedangkan hubungan antara Raden Djoko Semprung , yhwo Panembahan Tundjung yhwo Syah Tadjudin Akbar adalah saudara sedarah dengan Raden Djoko Probo , yhwo Raden Yusup , Yhwo Raden Kusen yhwo Raden Patah sama sama putra dari Prabu Brawidjaya tetapi beda ibu. Ibu dari Raden Djoko Semprung yhwo Panembahan Tundjung yhwo Syah Tadjudin Akbar adalah garwo selir Prabu Brawdjoyo yang nomor 13 , sedangkan Raden Djoko Semprung, yhwo Panebahan Tundjung ywho Syah Tadjudin Akbar adalah putra nomor 53.
Oleh karena itu dari sedjarah yang berhasil digali kembali dumadine djeneng Dusun Tundjungan bahkan didjadikan nama Padukuhan Tundjungan sampai sekarang , warga masyakat nDhukuh/Tunjungan dari nenek moyang sampai sekarang meyakini bahwa siti perdikan nDhukuh/Tundjungan atau Padukuhan Tundjungan tanah leluhur yang didalamnya dimakamkan seorang Priyagung Putra seorang Radja Sultan Brawidjaya meskipun hanya dari putra garwo selir. Itulah sedjarah awal mula buko/awal dari dumadine djeneng/nama Tundjungan.,yang sekarang makamnya djadikan tempat petilasan.
![]() |
Pohon Timo |
Pohon Timo
Pohon Timo yang terletak di tengah tengah djalan Raya Sanden – Bantul atau tepatnya di depan masuk Padukuhan Tundjungan masih ada kaitan atau hubungannya dengan Panembahan Tundjung, yhwo Raden Djoko Semprung yhwo Syah Tadjudin Akbar. Ketika Panembahan Tundjung, yhwo Raden Djoko Semprung yhwo Syah Tadjudin Akbar rawuh/datang di wewengkon siti perdikan (dulu belum bernama Tundjunga tetapi nDhukuh Tjilik) telah dimulai babad alas oleh Kyai Selo dan Kyai Nompo pada abad 15 – 16 masehi dan waktu itu telah dinamai wewengkon nDhukuh Tjilik.
Ketika Panembahan Tundjung ,yhwo Raden Djoko Semprung, yhwo Syah Tadjudin Akbar datang pertama kali menginjakan kaki di wewengkon nDhukuh Tjilik, Kyai Selo dan Kyai Nompo takut karena merasa kalah kawibawan’e sehingga Kyai Nompo dan Kyai Selo Keplayu (lari) ke arah barat sampai ke Bagelen Purworedjo.
Perlu diketahui ! ,
bahwa kedatangan Panembahn Tundjung , yhwo Raden Djoko Semprung, yhwo Syah Tadjudin Akbar ke siti perdikan nDhukuh Tjilik , beliau datang bersama sama 4 (empat) orang saudaranya , yang sama sama putra Prabu Brawidjaya dari garwo selir semua , antara lain : 1. Raden mas Gurur 2. Raden mas Suryowidjaya 3. Raden mas Djoko Dadun/Wongsoprono 4. Raden mas Djoko Dhudhing/Malang Sumirang Ke empat saudara dari Panembahan Tundjung, yhwo Raden Djoko Semprung, yhwo Syah Tadjudin Akbar , setelah sama sama sampai di wewengkon siti perdikan nDhukuh Tjilik, mereka ber-empat meneruskan laku sendiri sendiri dalam menjalani talak broto andon lelono mesu reh kasudarman ing telenging djaladri ( mandhito) ketjuali Panembahan Tundjung, yhwo Raden Djoko Semprung, yhwo Syah Tadjudin Akbar yang masih tetap tinggal di siti perdikan nDhukuh Tjilik.
Kala waktu Kyai Selo dan Kyai Nompo keplayu (lari) ke Begelen Purworedjo karena kalah wibawa, Panembahan Tundjung,yho Raden Djoko Semprung, yhwo Syah Tadjudin Akbar bersama sama ke 4 (empat) saudaranya mbudjung (mengedjar) untuk diadjak kembali ke siti perdikan nDhukuh Tjilik untuk melandjutkan babad alas dengan maksud agar wewengkonnya (wilayahnya) lebuh besar.
Dalam perdjalanan kembali dari Begelen ke siti perdikan nDhukuh Tjilik, Raden Djoko Dhudhing, yhwo Raden Malang Sumirang putra Brawidjaya nomor 43 memilih berhenti dan tertarik untuk babad alas di daerah Brosot Kulon Progo.
Untuk memudahkan sewaktu waktu bila saudara saudaranya Raden Djoko Dhudhing/Raden Malang Sumirang mentjari keberadaannya , maka sebagai tetenger ditanamlah pohon Timo. Raden Djoko Dhudhing akhirnya wafat dan di tlatah Brosot semare di pinggiring lepen progo dan di sana kemungkinan besar djuga ada patjak memlathi pohon Timo. Penembahan Tundjung, yhwo Raden Djoko Semprung , yhwo Syah Tadjudin Akbar dan ke 3 (tiga) saudaranya ketjuali Raden Djoko Dhuding dan Kyai Selo dan Kyai Nompo kemudian melandjutkan pedjalanan kembali ke siti perdikan nDhukuh Tjilik.
Sebelum sampai ke siti perdikan nDhukuh Tjilik beliau juga berhenti untuk menanam pohon Timo (yang sekarang berada di Dusun Tundjungan Tjaturharjo , sebelah barat pasar Gumulan ). Kemudian saudaranya Panembahan Tundjung,yhwo Raden Djoko Semprung, yhwo Syah Tadjudin Akbar yang bernama Raden Suryawijaya, ini andon lelono talak broto yang belum diketahui keberadaannya. Namun diyakini Raden Suryawidjaya dalam pergi andon lelono talak broto tidak djauh dari tempat Panembahan Tundjung, yhwo Raden Djoko Semprung yhwo Syah Tadjudin Akbar.
Bahkan ada rumor bahwa Raden Suryawidjaya ini kemungkinan hanya berada di sekitar makam Gunung Buthak, yang orang djawa menyebut Demang Sodjoyo yang sekarang semare di makam Gunung Buthak. Hal itu diperkuat dengan keyakinan olah batin seseorang yang ahli Supranatural yang bernama Ustazd Djumadi dari Kulon Progo bahwa menurut keyakinannya antara makam Gunung Buthak dan Tundjungan masih sangat terasa auranya.
Dan di sekitar makam Gunung Buthak djuga ditemukan pohon Timo meskipun tidak sebesar yang berada di Tundjungan. Kemudian saudara Panembahan Tundjung, yhwo Raden Djoko Seprung,Yhwo Syah Tadjudin Akbar yang bernama Raden Djoko Dadun yhwo Raden Tumenggung Wongsoprono neruske laku andon lelono talak broto dari siti perdikan nDhukuh Tjilik ke arah timur tepatnya di Grogol Mantjingan. Menurut sumber yang dapat dipertjaya di daerah Grogol Mantjingan tersebut juga ditemukan tanaman pohon Timo. Raden Djoko Dadun yhwo Raden Tumenggung Wongsoprono adalah putro nomor 29 dari garwo selir sultan Brawidjaya. Sedangkan Raden mas Gurur djuga neruske laku andon lelono talak broto ke arah gunung lawu.,dari Raden mas Gurur tersebut tidak diketahui tjerita atau diskripsi perihal sepak terdjangnya. Djadi asal muasal dumadine wit Timo menurut tjerita diyakini warga masyarakat Pedukuhan Tundjungan dari dulu sampai sekarang yang menanam adalah putra Sultan Brawidjaya yang bernama Raden Djoko Semprung,Yhwo Syah Tadjudin Akbar yhwo Panembahan Tndjung yang nomor 53 dari garwo selir nomor 13. Bahkan menurut tjerita , dahulu ketika djaman pendjadjah Belanda ketika membuat jalan raya ( sekarang Djalan Raya Sanden – Bantul yang seharusnya dibuat lurus terpaksa oleh Belanda dibelokkan ke timur melawati sungai lidheng saluran irigasi dari bendung Kamidjoro untuk mengairi areal perswahan di 11 (sebelas) Kalurahan.
0 Komentar